watch sexy videos at nza-vids!
WWW.CERITAINDO.SEXTGEM.COM

Find us On Facebook and Twitter
facebook.jpg | twitter.jpg

ISTRI TEMAN KULIAH

Sebut saja namanya “Sidar” (nama samaran). Dia
adalah seorang wanita bersuku campuran.

Bapaknya berasal dari kota Menado dan Ibunya
dari kota Makassar. Bapaknya adalah seorang
polisi berpangkat Serma, sedang ibunya adalah
pengusaha kayu.

Singkat cerita, ketika hari pertama aku ketemu
dengan teman kuliahku itu, rasanya kami
langsung akrab karena memang sewaktu kami
sama-sama duduk di bangku kuliah, kami sangat
kompak dan sering tidur bersama di rumah
kostku di kota Bone. Bahkan seringkali dia
mentraktirku.

“Nis, aku senang sekali bertemu denganmu dan
memang sudah lama kucari-cari, maukah kamu
mengingap barang sehari atau dua hari di
rumahku?” katanya padaku sambil merangkulku
dengan erat sekali. Nama teman kuliahku itu
adalah “Nasir”.

“Kita lihat saja nanti. Yang jelas aku sangat
bersukur kita bisa ketemu di tempat ini. Mungkin
inilah namanya nasib baik, karena aku sama sekali
tidak menduga kalau kamu tinggal di kota
Makassar ini” jawabku sambil membalas
rangkulannya. Kami berangkulan cukup lama di
sekitar pasar sentral Makassar, tepatnya di tempat
jualan cakar.

“Ayo kita ke rumah dulu Nis, nanti kita ngobrol
panjang lebar di sana, sekaligus kuperkenalkan
istriku” ajaknya sambil menuntunku naik ke mobil
Feroza miliknya. Setelah kami tiba di halaman
rumahnya, Nasir terlebih dahulu turun dan segera
membuka pintu mobilnya di sebelah kiri lalu
mempersilakan aku turun. Aku sangat kagum
melihat rumah tempat tinggalnya yang berlantai
dua. Lantai bawah digunakan sebagai gudang dan
kantor perusahaannya, sementara lantai atas
digunakan sebagai tempat tinggal bersama istri.

Aku hanya ikut di belakangnya.
“Inilah hasil usaha kami Nis selama beberapa
tahun di Makassar” katanya sambil menunjukkan
tumpukan beras dan ruangan kantornya.
“Wah cukup hebat kamu Sir. Usahamu cukup
lemayan. Kamu sangat berhasil dibanding aku
yang belum jelas sumber kehidupanku” kataku
padanya.
“Dar, Dar, inilah teman kuliahku dulu yang pernah
kuceritakan tempo hari. Kenalkan istri cantik saya”
teriak Nasir memanggil istrinya dan langsung
kami dikenalkan.
“Sidar”, kata istrinya menyebut namanya ketika
kusalami tangannya sambil ia tersenyum ramah
dan manis seolah menunjukkan rasa
kegembiraan.

“Anis”, kataku pula sambil membalas
senyumannya.
Nampaknya Sidar ini adalah seorang istri yang
baik hati, ramah dan selalu memelihara
kecantikannya. Usianya kutaksir baru sekitar 25
tahun dengan tubuh sedikit langsing dan tinggi
badan sekitar 145 cm serta berambut agak
panjang. Tangannya terasa hangat dan halus
sekali. Setelah selesai menyambutku, Sidar lalu
mempersilakanku duduk dan ia buru-buru masuk
ke dalam seolah ada urusan penting di dalam.
Belum lama kami bincang-bincang seputar
perjalanan usaha Nasir dan pertemuannya
dengan Sidar di Kota Makassar ini, dua cangkir
kopi susu beserta kue-kue bagus dihidangkan
oleh Sidar di atas meja yang ada di depan kami.

“Silakah Kak, dinikmati hidangan ala kadarnya”
ajakan Sidar menyentuh langsung ke lubuk
hatiku. Selain karena senyuman manisnya,
kelembutan suaranya, juga karena penampilan,
kecantikan dan sengatan bau farfumnya yang
harum itu. Dalam hati kecilku mengatakan,
alangkah senang dan bahagianya Nasir bisa
mendapatkan istri seperti Sidar ini. Seandainya
aku juga mempunyai istri seperti dia, pasti aku
tidak bisa ke mana-mana
“Eh, kok malah melamun. Ada masalah apa Nis
sampai termenung begitu? Apa yang
mengganggu pikiranmu?” kata Nasir sambil
memegang pundakku, sehingga aku sangat kaget
dan tersentak.

“Ti.. Tidak ada masalah apa-apa kok. Hanya aku
merenungkan sejenak tentang pertemuan kita
hari ini. Kenapa bisa terjadi yah,” alasanku.
Sidar hanya terdiam mendengar kami bincang-
bincang dengan suaminya, tapi sesekali ia
memandangiku dan menampakkan wajah
cerianya.

“Sekarang giliranmu Nis cerita tentang perjalanan
hidupmu bersama istri setelah sejak tadi hanya
aku yang bicara. Silahkan saja cerita panjang lebar
mumpun hari ini aku tidak ada kesibukan di luar.
Lagi pula anggaplah hari ini adalah hari
keistimewaan kita yang perlu dirayakan bersama.
Bukankah begitu Dar..?” kata Nasir seolah cari
dukungan dari istrinya dan waktunya siap
digunakan khusus untukku.
“Ok, kalau gitu aku akan utarakan sedikit tentang
kehidupan rumah tanggaku, yang sangat bertolak
belakang dengan kehidupan rumah tangga kalian”
ucapanku sambil memperbaiki dudukku di atas
kursi empuk itu.

“Maaf jika terpaksa kuungkapkan secara terus
terang. Sebenarnya kedatanganku di kota
Makassar ini justru karena dipicu oleh problem
rumah tanggaku. Aku selalu cekcok dan
bertengkar dengan istriku gara-gara aku kesulitan
mendapatkan lapangan kerja yang layak dan
mempu menghidupi keluargaku. Akhirnya
kuputuskan untuk meninggalkan rumah guna
mencari pekerjaan di kota ini. Eh.. Belum aku
temukan pekerjaan, tiba-tiba kita ketemu tadi
setelah dua hari aku ke sana ke mari. Mungkin
pertemuan kita ini ada hikmahnya. Semoga saja
pertemuan kita ini merupakan jalan keluar untuk
mengatasi kesulitan rumahtanggaku” Kisahku
secara jujur pada Nasir dan istrinya.

Mendengar kisah sedihku itu, Nasir dan istrinya
tak mampu berkomentar dan nampak ikut sedih,
bahkan kami semua terdiam sejenak. Lalu secara
serentak mulut Nasir dan istrinya terbuka dan
seolah ingin mengatakan sesuatu, tapi tiba-tiba
mereka saling menatap dan menutup kembali
mulutnya seolah mereka saling mengharap untuk
memulai, namun malah mereka ketawa terbahak,
yang membuatku heran dan memaksa juga
ketawa.

“Begini Nis, mungkin pertemuan kita ini benar ada
hikmahnya, sebab kebetulan sekali kami butuh
teman seperti kamu di rumah ini. Kami khan
belum dikaruniai seorang anak, sehingga kami
selalu kesepian. Apalagi jika aku ke luar kota
misalnya ke Bone, maka istriku terpaksa sendirian
di rumah meskipun sekali-kali ia memanggil
kemanakannya untuk menemani selama aku tidak
ada, tapi aku tetap menghawatirkannya. Untuk
itu, jika tidak memberatkan, aku inginkan kamu
tinggal bersamaku. Anggaplah kamu sudah
dapatkan lapangan kerja baru sebagai sumber
mata pencaharianmu. Segala keperluan sehari-
harimu, aku coba menanggung sesuai
kemampuanku” kata Nasir bersungguh-sungguh
yang sesekali diiyakan oleh istrinya.
“Maaf kawan, aku tidak mau merepotkan dan
membebanimu. Biarlah aku cari kerja di tempat
lain saja dan..” Belum aku selesai bicara, tiba-tiba
Nasir memotong dan berkata..
“Kalau kamu tolak tawaranku ini berarti kamu
tidak menganggapku lagi sebagai sahabat. Kami
ikhlas dan bermaksud baik padamu Nis” katanya.

“Tetapi,” Belum kuutarakan maksudku, tiba-tiba
Sidar juga ikut bicara..
“Benar Kak, kami sangat membutuhkan teman di
rumah ini. Sudah lama hal ini kami pikirkan tapi
mungkin baru kali ini dipertemukan dengan orang
yang tepat dan sesuai hati nurani. Apalagi Kak
Anis ini memang sahabat lama Kak Nasir,
sehingga kami tidak perlu ragukan lagi. Bahkan
kami sangat senan jika Kak sekalian menjemput
istrinya untuk tinggal bersama kita di rumah ini”
ucapan Sidar memberi dorongan kuat padaku.
“Kalau begitu, apa boleh buat. Terpaksa kuterima
dengan senang hati, sekaligus kuucapkan terima
kasih yang tak terhingga atas budi baiknya. Tapi
sayangnya, aku tak memiliki keterampilan apa-
apa untuk membantu kalian” kataku dengan
pasrah.

Tiba-tiba Nasir dan Sidar bersamaan berdiri dan
langsung saling berpelukan, bahkan saling
mengecup bibir sebagai tanda kegembiraannya.
Lalu Nasir melanjutkan rangkulannya padaku dan
juga mengecup pipiku, sehingga aku sedikit malu
dibuatnya.
“Terima kasih Nis atas kesediaanmu menerima
tawaranku semoga kamu berbahagia dan tidak
kesulitan apapun di rumah ini. Kami tak
membutuhkan keterampilanmu, melainkan
kehadiranmu menemani kami di rumah ini. Kami
hanya butuh teman bermain dan tukar pikiran,
sebab tenaga kerjaku sudah cukup untuk
membantu mengelola usahaku di luar. Kami
sewaktu-waktu membutuhkan nasehatmu dan
istriku pasti merasa terhibur dengan kehadiranmu
menemani jika aku keluar rumah” katanya
dengan sangat bergembira dan senang
mendengar persetujuanku.
Kurang lebih satu bulan lamanya kami seolah
hanya diperlakukan sebagai raja di rumah itu.

Makanku diurus oleh Sidar, tempat tidurku
terkadang juga dibersihkan olehnya, bahkan ia
meminta untuk mencuci pakaianku yang kotor
tapi aku keberatan. Selama waktu itu pula, aku
sudah dilengkapi dengan pakaian, bahkan kamar
tidurku dibelikan TV 20 inch lengkap dengan VCD-
nya. Aku sangat malu dan merasa berutang budi
pada mereka, sebab selain pakaian, akupun diberi
uang tunai yang jumlahnya cukup besar bagiku,
bahkan belakangan kuketahui jika ia juga
seringkali kirim pakaian dan uang ke istri dan
anak-anakku di Bone lewat mobil.
Kami bertiga sudah cukup akrab dan hidup dalam
satu rumah seperti saudara kandung bersenda
gurau, bercengkerama dan bergaul tanpa batas
seolah tidak ada perbedaan status seperti majikan
dan karyawannya. Kebebasan pergaulanku
dengan Sidar memuncak ketika Nasir berangkat
ke Sulawesi Tenggara selama beberapa hari untuk
membawa beras untuk di jual di sana karena ada
permintaan dari langgarannya.

Pada malam pertama keberangkatan Nasir, Sidar
nampak gembira sekali seolah tidak ada
kekhawatiran apa-apa. Bahkan sempat
mengatakan kepada suaminya itu kalau ia tidak
takut lagi ditinggalkan meskipun berbulan-bulan
lamanya karena sudah ada yang menjaganya,
namun ucapannya itu dianggapnya sebagai
bentuk humor terhadap suaminya. Nasir pun
nampak tidak ada kekhawatiran meninggalkan
istrinya dengan alasan yang sama.
Malam itu kami (aku dan Sidar) menonton
bersama di ruang tamu hingga larut malam,
karena kami sambil tukar pengalaman, termasuk
soal sebelum nikah dan latar belakang perkawinan
kami masing-masing. Sikap dan tingkah laku
Sidar sedikit berbeda dengan malam-malam
sebelumnya. Malam itu, Sidar membuat kopi
susu dan menyodorkanku bersama pisang susu,
lalu kami nikmati bersama-sama sambil nonton.

Ia makan sambil berbaring di sampingku seolah
dianggap biasa saja. Sesekali ia membalikkan
tubuhnya kepadaku sambil bercerita, namun aku
pura-pura bersikap biasa, meskipun ada ganjalan
aneh di benakku.
“Nis, kamu tidak keberatan khan menemaniku
nonton malam ini? Besok khan tidak ada yang
mengganggu kita sehingga kita bisa tidur siang
sepuasnya?” tanya Sidar tiba-tiba seolah ia tak
mengantuk sedikitpun.
“Tidak kok Dar. Aku justru senang dan bahagia
bisa nonton bersama majikanku” kataku sedikit
menyanjungnya. Sidar lalu mencubitku dan..
“Wii de.. De, kok aku dibilangin majikan. Sebel
aku mendengarnya. Ah, jangan ulang kata itu lagi
deh, aku tak sudi dipanggil majikan” katanya.
“Hi.. Hi.. Hi, tidak salah khan. Maaf jika tidak
senang, aku hanya main-main. Lalu aku harus
panggil apa? Adik, Non, Nyonya atau apa?”
“Terserah dech, yang penting bukan majikan.
Tapi aku lebih seneng jika kamu memanggil aku
adik” katanya santai.
“Oke kalau begitu maunya. Aku akan panggil adik
saja” kataku lagi.
Malam semakin larut. Tak satupun terdengar
suara kecuali suara kami berdua dengan suara
TV. Sidar tiba-tiba bangkit dari pembaringannya.
“Nis, apa kamu sering nonton kaset VCD bersama
istrimu?” tanya Sidar dengan sedikit rendah
suaranya seolah tak mau didengar orang lain.
“Eng.. Pernah, tapi sama-sama dengan orang lain
juga karena kami nonton di rumahnya” jawabku
menyembunyikan sikap keherananku atas
pertanyaannya yang tiba-tiba dan sedikit aneh itu.

“Kamu ingat judulnya? Atau jalan ceritanya?”
tanyanya lagi.
“Aku lupa judulnya, tapi pemainnya adalah
Rhoma Irama dan ceritanya adalah masalah
percintaan” jawabku dengan pura-pura bersikap
biasa.
“Masih mau ngga kamu temani aku nonton film
dari VCD? Kebetulan aku punya kaset VCD yang
banyak. Judulnya macam-macam. Terserah yang
mana Anis suka” tawarannya, tapi aku sempat
berfikir kalau Sidar akan memutar film yang aneh-
aneh, film orang dewasa dan biasanya khusus
ditonton oleh suami istri untuk membangkitkan
gairahnya.
Setelah kupikir segala resiko, kepercayaan dan
dosa, aku lalu bikin alasan.

“Sebenarnya aku senang sekali, tapi aku takut..
Eh.. Maaf aku sangat ngantuk. Jika tidak keberatan,
lain kali saja, pasti kutemani” kataku sedikit
bimbang dan takut alasanku salah. Tapi akhirnya
ia terima meskipun nampaknya sedikit kecewa di
wajahnya dan kurang semangat.
“Baiklah jika memang kamu sudah ngantuk. Aku
tidak mau sama sekali memaksamu, lagi pula aku
sudah cukup senang dan bahagia kamu bersedia
menemaniku nonton sampai selarut ini. Ayo kita
masuk tidur” katanya sambil mematikan TV-nya,
namun sebelum aku menutup pintu kamarku,
aku melihat sejenak ia sempat memperhatikanku,
tapi aku pura-pura tidak menghiraukannya.

Di atas tempat tidurku, aku gelisah dan bingung
mengambil keputusan tentang alasanku jika
besok atau lusa ia kembali mengajakku nonton
film tersebut. Antara mau, malu dan rasa takut
selalu menghantukiku. Mungkin dia juga
mengalami hal yang sama, karena dari dalam
kamarku selalu terdengar ada pintu kamar
terbuka dan tertutup serta air di kamar mandi
selalu kedengaran tertumpah.
Setelah kami makan malam bersama keesokan
harinya, kami kembali nonton TV sama-sama di
ruang tamu, tapi penampilan Sidar kali ini agak
lain dari biasanya. Ia berpakaian serba tipis dan
tercium bau farfumnya yang harum menyengat
hidup sepanjang ruang tamu itu. Jantungku
sempat berdebar dan hatiku gelisah mencari
alasan untuk menolak ajakannya itu, meskipun
gejolak hati kecilku untuk mengikuti kemauannya
lebih besar dari penolakanku. Belum aku sempat
menemukan alasan tepat, maka
“Nis, masih ingat janjimu tadi malam? Atau kamu
sudah ngantuk lagi?” pertanyaan Sidar tiba-tiba
mengagetkanku.

“O, oohh yah, aku ingat. Nonton VCD khan? Tapi
jangan yang seram-seram donk filmnya, aku tak
suka. Nanti aku mimpi buruk dan membuatku
sakit, khan repot jadinya” jawabku mengingatkan
untuk tidak memutar film porn.

“Kita liat aja permainannya. Kamu pasti senang
menyaksikannya, karena aku yakin kamu belum
pernah menontonnya, lagi pula ini film baru” kata
Sidar sambil meraih kotak yang berisi setumpuk
kaset VCD lalu menarik sekeping kaset yang
paling di atas seolah ia telah mempersiapkannya,
lalu memasukkan ke CD, lalu mundur dua
langkah dan duduk di sampingku menunggu apa
gerangan yang akan muncul di layar TV tersebut.

Dag, dig, dug, getaran jantungku sangat keras
menunggu gambar yang akan tampil di layar TV.
Mula-mula aku yakin kalau filmnya adalah film
yang dapat dipertontonkan secara umum karena
gambar pertama yang muncul adalah dua orang
gadis yang sedang berloma naik speed board
atau sampan dan saling membalap di atas air
sungat. Namun dua menit kemudian, muncul
pula dua orang pria memburuhnya dengan naik
kendaraan yang sama, akhirnya keempatnya
bertemu di tepi sungai dan bergandengan tangan
lalu masuk ke salah satu villa untuk bersantai
bersama.

Tak lama kemudian mereka berpasang-pasangan
dan saling membuka pakaiannya, lalu saling
merangkul, mencium dan seterusnya
sebagaimana layaknya suami istri. Niat
penolakanku tadi tiba-tiba terlupakan dan terganti
dengan niat kemauanku. Kami tidak mampu
mengeluarkan kata-kata, terutama ketika kami
menyaksikan dua pasang muda mudi
bertelanjang bulat dan saling menjilati
kemaluannya, bahkan saling mengadu alat yang
paling vitalnya. Kami hanya bisa saling
memandang dan tersenyum.

“Gimana Nis,? Asyik khan? Atau ganti yang lain
saja yang lucu-lucu?” pancing Sidar, tapi aku tak
menjawabnya, malah aku melenguh panjang.
“Apa kamu sering dan senang nonton film
beginian bersama suamimu?” giliran aku
bertanya, tapi Sidar hanya menatapku tajam lalu
mengangguk.

“Hmmhh” kudengar suara nafas panjang Sidar
keluar dari mulutnya.
“Apa kamu pernah praktekkan seperti di film itu
Nis?” tanya Sidar ketika salah seorang wanitanya
sedang menungging lalu laki-lakinya menusukkan
kontolnya dari belakang lalu mengocoknya
dengan kuat.

“Tidak, belum pernah” jawabku singkat sambil
kembali bernafas panjang.
“Maukah kamu mencobanya nanti?” tanya Sidar
dengan suara rendah.

“Dengan siapa, kami khan pisah dengan istri
untuk sementara” kataku.
“Jika kamu bertemu istrimu nanti atau wanita lain
misalnya” kata Sidar.

“Yachh.. Kita liat saja nanti. Boleh juga kami coba
nanti hahaha” kataku.
“Nis, apa malam ini kamu tidak ingin
mencobanya?” Tanya Sidar sambil sedikit
merapatkan tubuhnya padaku. Saking rapatnya
sehingga tubuhnya terasa hangatnya dan bau
harumnya.

“Dengan siapa? Apa dengan wanita di TV itu?”
tanyaku memancing.
“Gimana jika dengan aku? Mumpung hanya kita
berdua dan nggak bakal ada orang lain yang tahu.
Mau khan?” Tanya Sidar lebih jelas lagi mengarah
sambil menyentuh tanganku, bahkan
menyandarkan badannya ke badanku.

Sungguh aku kaget dan jantungku seolah copot
mendengar rincian pertanyaannya itu, apalagi ia
menyentuhku. Aku tidak mampu lagi berpikir
apa-apa, melainkan menerima apa adanya malam
itu. Aku tidak akan mungkin mampu menolak
dan mengecewakannya, apalagi aku sangat
menginginkannya, karena telah beberapa bulan
aku tidak melakukan sex dengan istriku. Aku
mencoba merapatkan badanku pula, lalu
mengelus tangannya dan merangkul
punggungnya, sehingga terasa hangat sekali.
“Apa kamu serius? Apa ini mimpi atau
kenyataan?” Tanyaku amat gembira.

kumpulan Cerita Dewasa Lainya, Dapat Anda Lihat & Baca Hanya Di :
www.ceritaindo.sextgem.com

“Akan kubuktikan keseriusanku sekarang. Rasakan
ini sayang” tiba-tiba Sidar melompat lalu
mengangkangi kedua pahaku dan duduk di
atasnya sambil memelukku, serta mencium pipi
dan bibirku bertubi-tubi.
Tentu aku tidak mampu menyia-nyiakan
kesempatan ini. Aku segera menyambutnya dan
membalasnya dengan sikap dan tindakan yang
sama. Nampaknya Sidar sudah ingin segera
membuktikan dengan melepas sarung yang
dipakainya, tapi aku belum mau membuka celana
panjang yang kepakai malam itu.

Pergumulan kami dalam posisi duduk cukup
lama, meskipun berkali-kali Sidar memintaku
untuk segera melepaskan celanaku, bahkan ia
sendiri beberapa kali berusaha membuka
kancingnya, tapi selalu saja kuminta agar ia
bersabar dan pelan-pelan sebab waktunya sangat
panjang.
“Ayo Kak Nis, cepat sayang. Aku sudah tak tahan
ingin membuktikannya” rayu Sidar sambil
melepas rangkulannya lalu ia tidur telentang di
atas karpet abu-abu sambil menarik tanganku
untuk menindihnya. Aku tidak tega membiarkan
ia penasaran terus, sehingga aku segera
menindihnya.
“Buka celana sayang. Cepat.. Aku sudah capek
nih, ayo dong,” pintanya.
Akupun segera menuruti permintaannya dan
melepas celana panjangku. Setelah itu, Sidar
menjepitkan ujung jari kakinya ke bagian atas
celana dalamku dan berusaha mendorongnya ke
bawah, tapi ia tak berhasil karena aku sengaja
mengangkat punggungku tinggi-tinggi untuk
menghindarinya.

Ketika aku mencoba menyingkap baju daster
yang dipakaianya ke atas lalu ia sendiri
melepaskannya, aku kaget sebab tak kusangka
kalau ia sama sekali tidak pakai celana. Dalam
hatiku bahwa mungkin ia memang sengaja siap-
siap akan bersetubuh denganku malam itu. Di
bawah sinar lampu 10 W yang dibarengi dengan
cahaya TV yang semakin seru bermain bugil, aku
sangat jelas menyaksikan sebuah lubang yang
dikelilingi daging montok nan putih mulus yang
tidak ditumbuhi bulu selembar pun.

Tampak menonjol sebuah benda mungil seperti
biji kacang di tengah-tengahnya. Rasanya cukup
menantang dan mempertinggi birahiku, tapi aku
tetap berusaha mengendalikannya agar aku bisa
lebih lama bermain-main dengannya. Ia sekarang
sudah bugil 100%, sehingga terlihat bentuk
tubuhnya yang langsing, putih mulus dan indah
sekali dipandang.
“Ayo donk, tunggu apa lagi sayang. Jangan
biarkan aku tersiksa seperti ini” pinta Sidar tak
pernah berhenti untuk segera menikmati
puncaknya.

“Tenang sayang. Aku pasti akan memuaskanmu
malam ini, tapi saya masih mau bermain-main
lebih lama biar kita lebih banyak
menikmatinya”kataku
Secara perlahan tapi pasti, ujung lidahku mulai
menyentuh tepi lubang kenikmatannya sehingga
membuat pinggulnya bergerak-gerak dan
berdesis.

“Nikmat khan kalau begini?” tanyaku berbisik
sambil menggerak-gerakkan lidahku ke kiri dan ke
kanan lalu menekannya lebih dalam lagi sehingga
Sidar setengah berteriak dan mengangkat tinggi-
tinggi pantatnya seolah ia menyambut dan ingin
memperdalam masuknya ujung lidahku.
Ia hanya mengangguk dan memperdengarkan
suara desis dari mulutnya.
“Auhh.. Aakkhh.. Iihh.. Uhh.. Oohh.. Sstt” suara
itu tak mampu dikurangi ketika aku gocok-
gocokkan secara lebih dalam dan keras serta
cepat keluar masuk ke lubang kemaluannya.

“Teruuss sayang, nikkmat ssekalii.. Aakhh.. Uuhh.
Aku belum pernah merasakan seperti ini
sebelumnya” katanya dengan suara yang agak
keras sambil menarik-narik kepalaku agar lebih
rapat lagi.
“Bagaimana? Sudah siap menyambut lidahku
yang panjang lagi keras?” tanyaku sambil
melepaskan seluruh pakaianku yang masih tersisa
dan kamipun sama-sama bugil.
Persentuhan tubuhku tak sehelai benangpun yang
melapisinya. Terasa hangatnya hawa yang keluar
dari tubuh kami.
“Iiyah,. Dari tadi aku menunggu. Ayo,. Cepat”
kata Sidar tergesa-gesa sambil membuka lebar-
lebar kedua pahanya, bahkan membuka lebar-
lebar lubang vaginanya dengan menarik kiri
kanan kedua bibirnya untuk memudahkan
jalannya kemaluanku masuk lebih dalam lagi.
Aku pun tidak mau menunda-nunda lagi karena
memang aku sudah puas bermain lidah di mulut
atas dan mulut bawahnya, apalagi keduanya
sangat basah. Aku lalu mengangkat kedua
kakinya hingga bersandar ke bahuku lalu
berusaha menusukkan ujung kemaluanku ke
lubang vagina yang sejak tadi menunggu itu.
Ternyata tidak mampu kutembus sekaligus sesuai
keinginanku. Ujung kulit penisku tertahan, padahal
Sidar sudah bukan perawan lagi.

“Ssaakiit ssediikit.., ppeelan-pelan sedikit” kata
Sidar ketika ujung penisku sedikit kutekan agak
keras. Aku gerakkan ke kiri dan ke kanan tapi juga
belum berhasil amblas.

Aku turunkan kedua kakinya lalu meraih sebuah
bantal kursi yang di belakanku lalu kuganjalkan di
bawah pinggulnya dan membuka lebar kedua
pahanya lalu kudorong penisku agak keras
sehingga sudah mulai masuk setengahnya.
Sidarpun merintih keras tapi tidak berkata apa-
apa, sehingga aku tak peduli, malah semakin
kutekan dan kudorong masuk hingga amblas
seluruhnya. Setelah seluruh batang penisku
terbenam semua, aku sejenak berhenti bergerak
karena capek dan melemaskan tubuhku di atas
tubuh Sidar yang juga diam sambil bernafas
panjang seolah baru kali ini menikmati betul
persetubuhan.

Sidar kembali menggerak-gerakkan pinggulnya
dan akupun menyambutnya. Bahkan aku tarik
maju mundur sedikit demi sedikit hingga jalannya
agak cepat lalu cepat sekali. Pinggul kami
bergerak, bergoyang dan berputar seirama
sehingga menimbulkan bunyi-bunyian
yangberirama pula.
“Tahan sebentar” kataku sambil mengangkat
kepala Sidar tanpa mencabut penisku dari lubang
vagina Sidar sehingga kami dalam posisi duduk.
Kami saling merangkul dan menggerakkan
pinggul, tapi tidak lama karena terasa sulit. Lalu
aku berbaring dan telentang sambil menarik
kepada Sidar mengikutiku, sehingga Sidar berada
di atasku. Kusarankan agar ia menggoyang,
mengocok dan memompa dengan keras lagi
cepat. Ia pun cukup mengerti keinginanku
sehingga kedua tangannya bertumpu di atas
dadaku lalu menghentakkan agak keras bolak balik
pantatnya ke penisku, sehingga terlihat kepalanya
lemas dan seolah mau jatuh sebab baru kali itu ia
melakukannya dengan posisi seperti itu. Karena
itu, kumaklumi jika ia cepat capek dan segera
menjatuhkan tubuhnya menempel ke atas
tubuhku, meskipun pinggulnya masih tetap
bergerak naik turun.

“Kamu mungkin sangat capek. Gimana kalau
ganti posisi?” kataku sambil mengangkat tubuh
Sidar dan melapas rangkulannya.
“Posisi bagaimana lagi? Aku sudah beberapa kali
merasa nikmat sekali” tanyanya heran seolah
tidak tahu apa yang akan kulakukan, namun tetap
ia ikuti permintaanku karena ia pun merasa sangat
nikmat dan belum pernah mengalami permainan
seperti itu sebelumnya.
“Terima saja permainanku. Aku akan tunjukkan
beberapa pengalamanku”
“Yah.. Yah.. Cepat lakukan apa saja” katanya
singkat.

Aku berdiri lalu mengangkat tubuhnya dari
belakang dan kutuntunnya hingga ia dalam posisi
nungging. Setelah kubuka sedikit kedua pahanya
dari belakan, aku lalu menusukkan kembali ujung
penisku ke lubangnya lalu mengocok dengan
keras dan cepat sehingga menimbulkan bunyi
dengan irama yang indah seiring dengan
gerakanku. Sidar pun terengah-engah dan
napasnya terputus-putus menerima kenikmatan
itu. Posisi kami ini tak lama sebab Sidar tak
mampu menahan rasa capeknya berlutut sambil
kupompa dari belakan. Karenanya, aku
kembalikan ke posisi semula yaitu tidur telentang
dengan paha terbuka lebar lalu kutindih dan
kukocok dari depan, lalu kuangkat kedua kakinya
bersandar ke bahuku.

Posisi inilah yang membuat permainan kami
memuncak karena tak lama setelah itu, Sidar
berteriak-teriak sambil merangkul keras
pinggangku dan mencakar-cakar punggungku.

Bahkan sesekali menarik keras wajahku
menempel ke wajahnya dan menggigitnya
dengan gigitan kecil. Bersamaan dengan itu pula,
aku merasakan ada cairan hangat mulai menjalar
di batang penisku, terutama ketika terasa sekujur
tubuh Sidar gemetar.

Aku tetap berusaha untuk menghindari
pertemuan antara spermaku dengan sel telur
Sidar, tapi terlambat, karena baru aku mencoba
mengangkat punggungku dan berniat
menumpahkan di luar rahimnya, tapi Sidar malah
mengikatkan tangannya lebih erat seolah
melarangku menumpahkan di luar yang akhirnya
cairan kental dan hangat itu terpaksa tumpah
seluruhnya di dalam rahim Sidar. Sidar
nampaknya tidak menyesal, malah sedikit ceria
menerimanya, tapi aku diliputi rasa takut kalau-
kalau jadi janin nantinya, yang akan membuatku
malu dan hubungan persahabatanku berantakan.

Setelah kami sama-sama mencapai puncak, puas
dan menikmati persetubuhan yang
sesungguhnya, kami lalu tergeletak di atas karpet
tanpa bantal. Layar TV sudah berwarna biru
karena pergumulan filmnya sejak tadi selesai. Aku
lihat jam dinding menunjukkan pukul 12.00
malam tanpa terasa kami bermain kurang lebih 3
jam. Kami sama-sama terdiam dan tak mampu
berkata-kata apapun hingga tertidur lelap. Setelah
terbangun jam 7.00 pagi di tempat itu, rasanya
masih terasa capek bercampur segar.

“Nis, kamu sangat hebat. Aku belum pernah
mendapatkan kenikmatan dari suamiku selama ini
seperti yang kamu berikan tadi malam” kata Sidar
ketika ia juga terbangun pagi itu sambil
merangkulku.

“Benar nih, jangan-jangan hanya gombal untuk
menyenangkanku” tanyaku.
“Sumpah.. Terus terang suamiku lebih banyak
memikirkan kesenangannya dan posisi mainnya
hanya satu saja. Ia di atas dan aku di bawah.
Kadang ia loyo sebelum kami apa-apa. Kontolnya
pendek sekali sehingga tidak mampu
memberikan kenikmatan padaku seperti yang
kami berikan. Andai saja kamu suamiku, pasti aku
bahagia sekali dan selalu mau bersetubuh, kalau
perlu setiap hari dan setiap malam” paparnya
seolah menyesali hubungannya dengan
suaminya dan membandingkan denganku.

“Tidak boleh sayang. Itu namanya sudah jodoh
yang tidak mampu kita tolak. Kitapun berjodoh
bersetubuh dengan cara selingkuh. Sudahlah.
Yang penting kita sudah menikmatinya dan akan
terus menikmatinya” kataku sambil
menenangkannya sekaligus mencium keningnya.

“Maukah kamu terus menerus memberiku
kenikmatan seperti tadi malam itu ketika suamiku
tak ada di rumah” tanyanya menuntut janjiku.

“Iyah, pasti selama aman dan aku tinggal
bersamamu. Masih banyak permainanku yang
belum kutunjukkan” kataku berjanji akan
mengulanginya
“Gimana kalau istri dan anak-anakmu nanti
datang?” tanyanya khawatir.
“Gampang diatur. Aku kan pembantumu,
sehingga aku bisa selalu dekat denganmu tanpa
kecurigaan istriku. Apalagi istriku pasti tak tahan
tinggal di kota sebab ia sudah terbiasa di
kampung bersama keluarganya tapi yang
kutakutkan jika kamu hamil tanpa diakui
suamimu” kataku.

“Aku tak bakal hamil, karena aku akan memakan
pil KB sebelum bermain seperti yang kulakukan
tadi malam, karena memang telah kurencanakan”
kara Sidar terus terang.

Setelah kami bincang-bincang sambil tiduran di
atas karpet, kami lalu ke kamar mandi masing-
masing membersihkan diri lalu kami ke halaman
rumah membersihkan setelah sarapan pagi
bersama. Sejak saat itu, kami hampir setiap
malam melakukannya, terutama ketika suami
Sidar tak ada di rumah, baik siang hari apalagi
malam hari, bahkan beberapa kali kulakukan di
kamarku ketika suami Sidar masih tertidur di
kamarnya, sebab Sidar sendiri yang mendatangi
kamarku ketika sedang “haus”.
Entah sampai kapan hal ini akan berlangsung, tapi
yang jelas hingga saat ini kami masih selalu ingin
melakukannya dan belum ada tanda-tanda
kecurigaan dari suaminya dan dari istriku.


Adult | GO HOME | Exit
1/2020
U-ON

inc Powered by Xtgem.com